Resensi Antologi Puisi: Puisi Dwibahasa Penuh Simbol dan Misteri
|
Sabtu, 07 Januari 2017
Resensi Antologi Puisi
PUISI
DWIBAHASA PENUH SIMBOL DAN MISTERI
Judul Buku : Kumpulan
Puisi Dua Bahasa: Maskumambang buat Ibu
Pengarang :
Nenden Lilis A.
Penerbit :
Rumput Merah
Tahun Terbit :
Cetakan 1, Oktober 2016
Antologi puisi ini
ditulis oleh salah satu sastrawan wanita terbaik Indonesia, yaitu Nenden Lilis
Aisyah. Wanita kelahiran Malangbong-Garut, 26 September 1971. Selama ini,
beliau telah banyak menulis puisi dan cerpen. Buku ini adalah
antologi puisinya yang kedua setelah Negeri
Sihir yang diterbitkan pada tahun 1999. Selain itu, puisi-puisi beliau juga
telah dipublikasikan dalam antologi-antologi puisi bersama, seperti Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Malam Seribu Bulan (1997), Tangan Besi (1998), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Bunga yang Berserak (2003), dan masih banyak lagi.
Bukan hanya itu, penyair juga aktif menghasilkan karya-karya lain seperti esai, resensi, juga cerita pendek. Cerpen-cerpennya telah terbit dalam antologi tunggal berjudul “Ruang Belakang”. Lalu, penyair pernah memenangkan lomba penulisan cerpen yang diadakan Mingguan Pikiran Rakyat Edisi Cirebon yang bekerja sama dengan Bank BTPN Cirebon. Penyair juga memperoleh penghargaan Pusat Bahasa pada tahun 2005.
Bukan hanya itu, penyair juga aktif menghasilkan karya-karya lain seperti esai, resensi, juga cerita pendek. Cerpen-cerpennya telah terbit dalam antologi tunggal berjudul “Ruang Belakang”. Lalu, penyair pernah memenangkan lomba penulisan cerpen yang diadakan Mingguan Pikiran Rakyat Edisi Cirebon yang bekerja sama dengan Bank BTPN Cirebon. Penyair juga memperoleh penghargaan Pusat Bahasa pada tahun 2005.
Keaktifan,
kekritisan, kepekaan sosial, serta kekayaan wawasannya telah terbukti berhasil
mengantarkannya menjadi salah satu penyair wanita yang sangat sukses. Salah
satu puisinya dibacakannya di acara “The 3rd Schamrock Festival of
Women Poets” yang bertempat di Jerman. Penyair juga sering diundang dalam
beberapa kegiatan sastra, seperti dalam acara “Festival de Winternachten” di
kota Den Haag, Belanda (1999) dan “Pembacaan Puisi di Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI)” di INALCO, Paris, Perancis (1999).
Antologi puisi yang
muncul pada Oktober 2016 ini berisikan 50 puisi dengan tiap-tiap puisi telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Jadi, total jumlah puisi yang ada di
dalamnya adalah 100 puisi (50 puisi berbahasa Indonesia dan 50 puisi berbahasa
Inggris). Puisi yang berbahasa Inggris dalam buku antologi puisi ini
diterjemahkan oleh Dadang Sadili, Ian Campbell, Nikmah Sardjono, dan Harry
Aveling. Puisi “Pada Suatu Hari Teduh” menjadi pengantar pembaca kepada
sejumlah puisi dua bahasa lainnya, sedangkan puisi “Tukang Tenung” berdiri
paling belakang sebagai puisi pamungkas dari antologi ini.
Puisi-puisi yang
terdapat dalam antologi ini sangat menarik dan memiliki makna yang dalam. Salah
satu puisi yang cukup menarik perhatian saya adalah puisi “Pengungsi”. Pada
puisi tersebut, terdapat simbol kehidupan berupa simbolisasi manusia, di mana ‘pengungsi’
di sini mewakilkan suatu gagasan kaum tertindas. Kaum tertindas yang pada saat
itu telah sangat lama menderita. Darah yang menghitam adalah tanda jika sebuah
luka dibiarkan terbuka, tidak dibersihkan ataupun dirawat. Nyeri dari hantaman
diisyaratkan telah diterima selama beratus-ratus tahun, sampai akhirnya kekal
dan kebal. Penyair mengungkapkan segala penderitaan yang dialami oleh
‘pengungsi’ secara tidak langsung. Hal itu terlihat pada bait kedua seperti setelah itu, di rongga yang dalam / akan kau
temukan darah menghitam / mengekalkan
nyeri hantaman ratusan tahun //.
Selain itu, dalam
puisi ini terdapat ketidaklangsungan ekspresi berupa penyimpangan arti yang
menimbulkan ambiguitas. Penafsiran dari puisi ini bisa saja beragam. ‘Pengungsi’
dalam puisi ini tidak selalu ditafsirkan sebagai pihak yang bertindak atau
mewakilkan gagasan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Secara
keseluruhan puisi ini berhasil mencerminkan keadaan buruk ‘para pengungsi’ yang
juga bersatu untuk mulai melawan, terlihat pada bait terakhir puisi ini, tapi ini dada kami / berjajar melingkarimu
//.
Selain puisi itu,
terdapat pula puisi yang berjudul “Kerikil”. Pada puisi itu, terdapat beberapa
imaji yang menurut saya sangat mendalam. Contohnya, penggunaan imaji di sereset bambu di tenggorokan. Imaji itu
dapat diinterpretasikan sebagai kondisi seakan ketenangan batin dari penyair
terganggu oleh sesuatu. Dalam puisi ini pun terdapat simbolisasi benda, yaitu
kerikil. ‘Kerikil’ di sini tidak berdiri sebagai benda, tetapi lebih mewakilkan
suatu entitas yang mengganggu. Ungkapan penyair dalam setiap lariknya
mengandung keinginan untuk bebas dari entitas yang membelnggunya. Entitas yang hadir
tanpa diundang itu adalah realitas kehidupannya, dapat berupa konflik
percintaan yang menyangkut masa lalu, atau konflik keluarga bahkan konflik
antar individu masyarakat.
Puisi “Kerikil” ini
mengandung ketidaklangsungan ekspresi berupa penggantian arti dari suatu
ungkapan. ‘Kerikil’ yang biasa kita tahu sebagai bentuk pecahan-pecahan kecil
dari batu tidak kita temukan dalam puisi ini. ‘Kerikil’ bukanlah batu lagi. Arti
dari ‘kerikil’ itu telah tergantikan dengan ‘entitas yang mengganggu’. Selain
itu, terdapat pula penciptaan arti yang berupa enjambemen, yaitu peristiwa
sambung-menyambung antar larik yang berhubungan, seperti pada larik bertahun mengingatmu, hanya mengundang /
kesedihan seseorang menimba air / di sumur kering yang tua /.
Kemudian, puisi
yang berjudul “Rumah Kenangan” juga sangat bagus. Sama seperti puisi
sebelumnya, puisi ini pun kaya akan imaji. Puisi ini mengandung simbolisasi
peristiwa, di mana rumah mewakili gagasan sulitnya seseorang untuk kembali
pulang. Peristiwa tersebut berada di luar nalar manusia. Timbullah pertanyaan,
mengapa ‘rumah’ justru menahan seseorang untuk pulang?
Diksi ‘rumah’ di
sini bukan hanya berdiri sebagai sebuah bangunan di mana kita pulang setelah
seharian bepergian, tetapi juga sebuah tempat di mana perlindungan bisa kita
dapatkan. Puisi ini berdiri sebagai sudut pandang penyair kepada segala cara
menghadapi kepedihan hidup, termasuk untuk pulang dan ‘berlindung’. Ungkapan
yang ditulis penyair mengisyaratkan bahwa tidak ada tempat terindah untuk
pulang selain rumah sendiri.
Terdapat
ketidaklangsungan ekspresi berupa penyimpangan arti yang menimbulkan
ambiguitas. “Rumah Kenangan” tidak selalu ditafsirkan sebagai rumah dengan
banyak kenangan yang menunggu penghuninya untuk senantiasa pulang. Namun, dapat
pula ditafsirkan sebagai hal yang berlawanan. ‘Kenangan’ yang dimaksud di sini
dapat ditafsirkan sebagai hal yang menghambat seseorang untuk pulang, atau ‘rumah’
di sini bukan menunggu penghuninya pulang tetapi rumah yang memang tidak
berpenghuni. Selain itu, ketidaklangsungan ekspresi lainnya berupa penciptaan
arti ditemukan dalam puisi ini, yaitu enjambemen. Hal itu terlihat pada kedua
larik yang berhubungan, seperti pada larik meski
lubang kuncinya macet, pintunya tak bisa / menutup, cerminnya memantulkan
bayangan lonjong //.
Selain ketiga puisi
tersebut, terdapat pula puisi “Kepada Petualang”. Puisi ini mengandung
simbolisasi manusia, yaitu ‘petualang’ dan ‘pengembara’. Baik ‘petualang’
maupun ‘pengembara’ sama-sama mewakilkan gagasan para manusia yang sedang mencari
jati diri. Dalam puisi ini, penyair membawa konsep perbedaan antara petualang
dengan pengembara. Petualang tidak mungkin mencari jalan untuk pulang,
sedangkan pengembara akan selalu tahu arah pulang, sampai kepada arti pulang
itu sendiri. Filosofi pengembara itu bergerak ke arah keyakinan/kepercayaan
(agama), terlihat pada bagaimana pengungkapan seorang pengembara pergi
melakukan pengembaraan untuk mencari jati dirinya sendiri, tetapi tetap akan
pulang, meski berarti pulang kepada Tuhannya.
Puisi ini juga
memiliki ketidaklangsungan ekspresi berupa penggantian arti dari ungkapan
‘petualang’ dan ‘pengembara’. Ketika biasanya ‘petualang’ adalah orang yang
bisa saja tahu jalan pulang dan ‘pengembara’ tidak, penyair menimbulkan
ungkapan baru yang berbanding terbalik dengan hal itu. ‘Petualang’ sering
diartikan sebagai orang yang melakukan perjalanan kepada suatu tempat dengan
kondisi menantang. ‘Pengembara’ sering diartikan sebagai orang yang berkelana
tanpa tujuan. Kedua pandangan umum tentang ‘petualang’ dan ‘pengembara’ itu
berlawanan dengan apa yang secara lugas disampaikan oleh penyair dalam
puisinya.
Lalu, puisi yang
kelima, yaitu “Pada Cerita Sempurna”, mengandung dua simbol yaitu simbolisasi
benda dan peristiwa. Simbolisasi benda yang terdapat adalah benda-benda dalam
rumah seperti dinding rumah retak-retak, seprai pudar, selimut usang, lantai
keramik bergores, dan dindin. Benda-benda itu mewakilkan gagasan dua orang yang
telah tinggal bersama untuk waktu yang cukup lama.
Kemudian, terdapat simbolisasi peristiwa berupa sebuah
kisah yang mewakili gagasan cinta yang sangat kuat, di mana dua orang dapat
menjalani hidup sampai mereka tua bersama bahkan sampai menutup usia bersama
pula. Ungkapan-ungkapan dalam bait pertama yaitu apakah telah sempurna cerita kita / hingga bumbungan rumah yang terus
ditumbuhi lumut / dan burung-burung yang
mematuki dan melubanginya / tak membuat kita merasa semakin tua // dan
ungkapan pada bait keempat yaitu corak
kembang pada seprai agak pudar /
selimut pun usang tak bergambar / tapi di situ, ada hangat dan getar //
turut meyakinkan kita bahwa cerita cinta kedua orang dalam puisi ini ternyata
memang hampir sempurna.
Dalam puisi ini terdapat ketidaklangsungan ekspresi
berupa penyimpangan arti yang menimbulkan ambiguitas. Benda-benda rumah yang
ada tidak selalu ditafsirkan sebagai apa yang telah ditafsirkan di atas, tetapi
juga sebagai tanda ketidakmampuan secara finansial (terlihat pada beberapa
ungkapan yang memakai kata sifat retak,
berlumut, pudar, dan usang). Benda
rumah dalam puisi ini dapat menimbulkan tafsiran lain. Selain itu, kisah cinta
yang hadir dalam puisi ini dapat ditafsirkan ke berbagai tafsiran, seperti tafsiran
yang mengarah kepada dugaan kisah cinta mereka akan berlanjut sampai menutup
usia bersama, dugaan bahwa cinta mereka abadi, atau dugaan bahwa cinta mereka
akan kandas.
Secara keseluruhan,
kelebihan dari antologi puisi ini adalah penyair telah memberi persepsi lain
tentang puisi yang berada dalam dua tempat. Satu tempat yang di sisi ini
bersifat konkret, tetapi di sisi lainnya abstrak. Lalu, maksud konkret di sini
adalah tempat-tempat yang ada dalam kehidupan nyata, sedangkan abstrak adalah
konsep suatu tempat yang tidak nyata. Cara penggunaan diksi serta imaji di setiap
puisi juga sangat menarik.
Terdapat pula
beberapa simbol yang cukup menonjol pada puisi-puisi di dalamnya. Simbolisasi
manusia, benda, dan peristiwa telah berhasil penyair tuangkan ke dalam
puisinya. Ungkapan tidak langsung dalam puisi yang dibuat penyair juga dapat
membuat kita membedakan penafsiran atau penginterpretasian makna dari setiap
puisi.
Bentuk puisi dalam
antologi ini mendeksripsikan hal-hal yang dapat terjadi di kehidupan
sehari-hari. Puisi-puisi di dalam antologi ini mengandung makna yang mendalam
dan penuh nasihat, tetapi tetap dikemas dengan cara yang tidak biasa, cara yang
lain daripada penyair wanita lainnya; misterius. Dalam dunia kesusastraan
Indonesia, puisi-puisi ini dapat bertahan dan bersaing dengan kesusastraan luar
negeri karena kualitas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. ***(Raden
Ayunidhanti Salsabila Wahyudi)
edit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar